Selasa, 12 Maret 2013

SISTEM IMUN



1. Sistem Imun Non-spesiflk

Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sistem imun spesifik memerlukan waktu sebelum dapat memberikan responsnya. Sistem tersebut disebut non-spesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.

Kornponen-kornponen sistem imun non-spesifik terdiri atas :
  1. Pertahanan fisis dan mekanis.
  2. Pertahanan biokimia.
  3. Pertahanan humoral.
  4. Pertahanan selular.

A. Pertahanan Fisis dan Mekanis


Kulit, selaput lendir, silia saluran nafas, batuk, dan bersin dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misainya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh karena asap rokok akan meningkatkan risiko infeksi.

B. Pertahanan Biokimia


Bahan yang disekresi mukosa salurannapas, kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam semen merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam hidroklorik dalam cairan lambung, lisosim dalarfi keringat, ludah, air mata, dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman gram positif dengan jalan menghancurkan dinding kuman tersebut. Air susu ibu mengandung pula laktoferitin dan asam neurominik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap E.coli dan stafilokok.

Lisozim yang dilepas makrofag dapat menghancurkan kuman gram negatif dengan bantuan kornpleen. Laktoferitin dan transferin dalam serum dW#at mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas (Gambar 2).

C. Pertahanan Humoral


    1. Komplemen

Kornplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi (Gambar 3). Kejadian-kejadian tersebut di atas adalah fungsi sistem imun nonspesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respons imun spesifik.

    2. Interferon

Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel manusia yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang telah terserang virus tersebut. Di samping itu, interferon dapat pula mengaktifkan natural killer cel-sel NK untuk membunuh virus (Gambar 4) dan sel neoplasma.


    3. C-Reactive'Protein (CRP)

CRP dibentuk tubuh pada keadaan infeksi. Perannya ialah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. (Gambar 5)

D. Pertahanan Selular


Fagosit/makrofag dan set NK berperan dalam sistem imun non-spesifik selular.

    1. Fagosit

Meskipun berbagai set dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, set utama yang berperan pada pertahanan non-spesifik adalah set mononuklear (monosit dan makrofag) serta set polimorfonuklear seperti neutrofil. Kedua golongan set tersebut berasal dari set hemopoietik yang sama.

Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman akan dapat mencegah timbuInya penyakit. Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut: kemotaksis, menangkap, membunuh, dan mencerna.

    2. Natural Killer Cell (sel NK)

Set NK adalah set limfosit tanpa ciri-ciri" set limfoid sistem imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu disebut juga set non B non T atau set populasi ketiga atau null cell. Set NK dapat menghancurkan set yang mengandung virus atau set neopiasma. Interferon mempercepat pematangan dan meningkatkan efek sitolitik set NK



 2. Sistem Imun Spesifik

Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifilk mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel imun tersebut. Bila set sistem tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut spesifik.

Sistem imun spesifilk dapat bekeria sendifi untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara set T-makrofag. Oleh karena komplemen turut diaktifkan, respons imun yang terjadi sering disertai dengan reaksi inflamasi.


A. Sistem Imun Spesifilk Humoral


Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau set B. Set B tersebut berasal dari set asal multipoten. Pada unggas set asal tersebut berdiferensiasi menjadi set B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang letaknya dekat kloaka. Bila set B dirangsang benda asing, set tersebut akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi set plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan netralisasi toksin.


B. Sistern Imun Spesifilk Selular


Yang berperan dalam sistem imun spesifilk selular adalah limfosit T atau set T. Set tersebut juga berasal daril set asal yang sama seperti set B, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di dalam kelenjar timus. Berbeda dengan set B, set T terdiri atas beberapa subset set yang mempunyai fungsi yang berlainan.

Fungsi set T umumnya ialah :
-          membantu set B dalam memproduksi antibodi
-          mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus
-          mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
-          mengontrol ambang dan kualitas sistem imun

Sel T terdiri atas beberapa subset sel sebagai berikut :

    1. Sel Th (T helper)

Sel Th dibagi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menolong sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk memproduksi antibodi, kebanyakan antigen (T dependent antigen) harus dikenal terlebih dahulu, baik oleh sel T maupun sel B. Sel Th (Th1) berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terkena infeksi virus, jaringan cangkok alogenik dan sel kanker. Istilah sel T inducer dipakai untuk menunjukkan aktivitas sel Th yang mengaktifkan subset sel T lainnya. Sel Th juga melepas limfokin; limfokin asal Th1 mengaktifkan makrofag, sedang limfokin asal sel Th2 mengaktifkan sel B/sel plasma yang membentuk antibodi.

    2. Sel Ts (T supresor)

Sel Ts menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya, sel Ts dapat dibagi menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts non-spesifik.

    3. Sel Tdh atau Td (delayed hypersensitivity)

Sel Tdh adalah sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi lambat. Dalam fungsinya, memerlukan rangsangan dari sel Thl.

    4. Sel Tc (cytotoxic)

Sel Tc mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogpnik, sel sasaran yang mengandung virus dan sel kanker.
Sel Th dan Tc disebut juga sel T regulator sedang sel Tdh dan sel Tc disebut sel efektor. Dalam fungsinya, sel Tc memerlukan rangsangan dari sel Thl.

    5. Sel K

Sel K atau ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity) adalah sel yang tergolong dalam sistem imun non-spesifilk tetapi dalam kerjanya memerlukan bantuan imunoglobulin (molekul dari sistem imun spesifik).




ANTIGEN DAN ANTIBODI

Antigen


Antigen atau imunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan reaksi imun spesifik pada manusia dan hewan. Kornponen antigen yang disebut determinan antigen atau epitop adalah bagian antigen yang dapat mengikat antibodi. Satu antigen dapat memiliki beberapa epitop. Albumin serum memiliki 6 epitop dan masing-masing dapat merangsang sistem imun untuk membentuk antibodi dan terbentulk 6 jenis antibodi yang berlainan.

Hapten adalah determinan antigen dengan berat molekul yang rendah dan baru menjadi imunogen bila diikat oleh molekul besar (carrier) dan dapat mengikat antibodi. Hapten biasanya dikenal oleh sel B dan carrier oleh sel T. Carrier sering digabung dengan hapten dalam usaha imunisasi.

Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan berat molekul lebih dari 40.000 dan polisakarida mikrobial.


Antibodi


Antibodi atau imunoglobulin (lg) adalah golongan protein yang dibentuk sel plasma (proliferasi sel B) akibat kontak dengan antigen. Antibodi mengikat antigen yang menimbulkannya secara spesifik. Bila serum protein tersebut dipisahkan secara elektroforesis, lg ditemukan terbanyak dalani fraksi globulin y meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin a dan 0.

Sernua molekul ]g mempunyai 4 poiipeptid dasar yang terdiri atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang identilk, dihubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan disulfid (Gambar.6).


A.  IgG


lgG merupakan komponen utama imunoglobulin serum, dengan berat molekul 160.000. Kadamya dalam serum yang sekitar 13 mg/mL merupakan 75% dari sernua lg. lgG ditemukan juga dalam berbagai cairan lain antaranya cairan
saraf sentral (CSF) dan juga urin. lgG dapat menembus plasenta dan masuk ke fetus clan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. lgG dapat mengaktifkan kornplemen, meningkatkan pertahanan badan meialui opsonisasi dan reaksi inflamasi. lgG mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh karena monosit dan makrofag memiliki reseptor untulk fraksi Fc dari IgG yang dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Selanjutnya opsonisasi dibantu reseptor untuk kornplemen pada permukaan fagosit. IgG mempunyai 4 subkelas yaitu Igl, 1g2, 1g3, clan 1g4. 1g4 dapat clikat oleh sel mast dan basofil.

B. lgA


lgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cerna, saluran kemih, airmata, keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai 19A sekretori (s lgA). Bailk igA dalam serum maupun dalam sekret dapat menetralisasi toksin atau virus clan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat sasaran. Sekretori lgA diproduksi lebih dulu dari pada IgA dalam serum clan tidak menembus plasenta.

C. IgM


lgM mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan lg terbesar. Molekul-molekul tersebut diikat rantai Y pada fraksi Fc (Gambar 7).

Kebanyakan sel B mempunyai lgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. lgM dibentuk paling dahulu pada respons imun primer tetapi tidak berlangsung lama, karena itu kadar lgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini.

Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai lgM 10% dari kadar lgM dewasa oleh karena lgM tidak menembus plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk lgM bila sel B-nya dirangsang oleh infeksi intrauterin seperti sifilis kongenital, rubela, toksoplasmosis, dan virus sitomegalo. Kadar lgM anak mencapai kadar lgM dewasa pada usia satu tahun. Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB, antibodi heterofil adalah lgM. lgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen. lgM juga merupakan antibodi yang dapat mengikat komplemen dengan kuat dan tidak menembus plasenta.

 D. IgD

lgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah. lgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan auto-antigen seperti komponen nukieus. Selanjutnya lgD ditemukan bersama 1gM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen.

E. IgE

 lgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. lgE mudah diikat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag, clan trombosit yang pada permukaannyg memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari lgE. lgE dibentulk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran napas dan cerna. Kadar lgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, lgE diduga juga berperan pada imunitas parasit. lgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagin.


 REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatannya dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi ini dapat terjadi sendiri-sendiri, tetapi di dalam klinis dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering tedadi bersamaan (Gambar 8 dan Tabel 1).

Reaksi Tipe I


Reaksi Tipe I yang disebut juga reaksi cepat, reaksi anafilaksis atau reaksi alergi dikenal sebagai reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah alergi yang pertama kah digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai "reaksi pejamu yang berubah" bila terjadi kontak dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih.

Antigen yang masuk tubuh akan ditangkap oleh tagosit, diprosesnya lalu dipresentasikan ke sel Th2. Sel yang akhir melepas sitokin yang merangsang sel B untuk membentuk lgE. lgE akan diikat terutama oleh sel mast melalui reseptor Fc Ouga oleh basofil dan eosinofil). Bila ada alergen yang sama masuk tubuh, akan clikat oleh lgE tadi (spesifik) clan menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut mengeluarkan berbagai mediator antara lain histamin (Gambar 9) yang didapat dalam granul-granul sel clan menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe 1.

Penyakit-penyakit yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen adalah asma bronkial, rinitis, urtikaria, clan dermatitis atopik. Di samping histamin, mediator lain seperti prostaglandin, clan leukotrin (SRS-A) yang dihasilkan metabolisme asam arakidonat, berperan pada fase lambat dari reaksi tipe 1 yang sering timbul beberapa jam sesudah kontak dengan alergen.
                                                                                                                                                  
Reaksi Tipe II

Reaksi tipe II yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi oleh karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mensensitasi sel K sebagai efektor antibody dependent cell cytotoxicity (ADCC) atau mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi dan penyakit anemia hemolitik pada bayi yang baru dilahirkan dan dewasa. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga ditimbulkan meIalui mekanisme reaksi tipe 11. Anemia hemolitik dapat ditimbulkan oieh obat seperti penisilin, kinin, dan sulfonamid.


Reaksi Tipe Ill


Reaksi tipe Ill yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi di sini biasanya jenis IgG. Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan sekitarnya. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi tersebut disertai antigen dalam jumiah yang berlebihan, tetapi tidak disertai respons antibodi efektit. Sebab-sebab reaksi tipe Ill dan alat tubuh yang sering merupakan sasaran penyakit kompleks imun terlihat pada tabel 2.

Pembentukan kompleks imun dalam pembuluh darah terlilhat pada gambar 10.

Antigen (Ag) dan antibodi (Ab) bersatu membentulk kompleks imun. Selanjutnya kompleks imun mengaktifkan C yang melepas C31 dan C5a dan merangsang basofil dan trombosit melepas berbagai mediator antara lain histamin yang meningkatkan permeabilitas vaskular.


Mengapa Kornpleks Imun Menetap ?

Dalam keadaan normal kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononulklear terutama dalam hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks imun merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan cepat dimusnahkan dalam hati. Kompleks yang larut yang terjadi bila antigen ditemukan jauh lebih banyak dari pada antibodi, sulit untuk dimusnahkan dan oleh karena itu dapat febih lama ada dalam sirkulasi. Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun menembus dinding pembuluh darah dan mengendap di jaringan.

Gangguan fungsi fagosit diduga dapat merupakan sebab mengapa kompleks imun sulit dimusnahkan.


 Reaksi Tipe IV

Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan antigen. Reaksi terjadi karena respons sel Thl yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat sensitasi tersebut sel Thl melepas Jimfokin antara lain MIF, MAF (lihat gambar). Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediaior (sitokin, enzim dan sebagainya) sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Bila ada antigen menetap untuk jangka waktu lama, makrofag akan terus menerus diaktifkan dan membentuk jaringan granulomata.

Ada 4 jenis tipe IV sebagai berikut:

1 . Reaksi Jones Mote
2. Hipergensitivitas kontak
3. Tipe tuberkulin
4. Reaksi granulomata

Hal-hal yang tercantum dalam butir 1,2,3 timbul sesudah 20-72 jam, sedang reaksi granulomata timbul beberapa minggu sesudah tubuh terpajan antigen.


1. Hipersensifivitas Jones Mote (Reaksi JM)

Reaksi M ditandai oleh adanya infiltrasi )eukosit basofil di bawah epidermis yang sering disebut hipersensitivitas basofil kulit yang dapat dicetuskan pada binatang percobaan. Hat tersebut biasanya ditimbulkan antigen yang larut.


2. Dermatitis Kontak


Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Set Langerhans sebagai antigen presenting cell (APC), set Thl, dan makrotag memegang peran pada reaksi di sini.


3. Tipe Tuberkulin


Reaksi tuberkulin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi set mononuMear (50% adalah limfosit dan sisanya monosit). Seteiah 48 jam, timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Bila reaksi menetap, reaksi tuberkulin dapat berianjut*menimbulkan kavitas atau granulomata.

4. Reaksi Granutomata

Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang dianggap paling penting oteh karena menimbulkan banyak efek patologis. Hat tersebut terjadi oleh karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misainya pada alveolitis alergik.

Reaksi granulomata terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi kehadiran antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkulin merupakan respons imun seluiar yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi terhadap antigen mikroorganisme yang sama misainya Utuberculosae dan M.lepra. Granulomata terjadi pula pada hipersensitivitas terhadap zerkonium sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talcum). Dalam hat ini makrofaq tidak dapat memusnahkan benda inorganik tersebut. Granulomata non-imunologis dapat dibedakan dad yang imunologis oleh karena yang pertama tidalk mengandung limfosit.

Dalam reaksi granulomata ditemukan set epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag. Sel-sel raksasa yang memilki banyak nukleus disebut sel raksasa Langhans. Set tersebut mempunyai belberapa nulkleus yang tersebar di bagian perifer set dan oleh karena itu diduga set tersebut merupakan hasil diferensiasi terminal set monosit/makrofaq.

Granulomata imunoiogis ditandai oleh inti yang terdiri atas set epiteloid dan makrofag, kadang-kadang ditemukan set raksasa yang dikelilingi oleh ikatan limfosit. Di samping itu dapat ditemukan fibrosis (endapan serat kolagen) yang terjadi akibat proliferasi fibroblas dan peningkatan sintesis kolagen. Pada beberapa penyakit seperti tuberkulonis, di bagian sentral dapat ditemulkan nekrosis dengan hilangnya struktur jaringan (Gambar 11). Sifatsifat penting keempat jenis reaksi hipersensitivitas lambat terliliat pada tabel 3.













2 komentar: